“NIAT ingson poso ing
dhino sesok sangkeng nekani bulan Ramadhan, iki lah tahoon, krono Allah ta’ala”. Kalimat ini bukan
mantra, tapi terjemahan niat berpuasa yang dilafadzkan jamaah sejumlah masjid
dan musola di Dusun Papal, Desa Teluk Papal, Kecamatan Bantan. Niat puasa dalam
bahasa Jawa ini, biasanya dilafadz setelah niat bahasa Arab dipandu sang imam.
Minggu
malam (5/6/2016) bersamaan malam 1 Ramadhan 1437 Hijriyah, saya bersama
anak-anak Azmi dan Azlan, mengikuti shalat Isya dan Terawih berjamaah di Masjid
Assu’ada Dusun Papal, Desa Teluk Papal Kecamatan Bantan. Jumlah rakaat shalat
terawih di masjid yang berlokasi sekitar 800 meter dari pesisir pantai Selat
Malaka itu, sebanyak 20 raka’at dan 3 raka’at shalat witir.
Sang
imam yang memandu pelaksanaan shalat Isya, shalat sunat terawih dan witir, nama
di KTP-nya tertulis Muzamil, tapi panggilan akrab di kampung, pria yang
berprofesi sebagai penakek getah ini, punya nama ‘alias’ Dukut. Sedangkan sang
bilal, Nuraziz dan doa dipercayakan kepada Tukijan, mertua dari pak Selamat
Banc (personil Satpol PP Kecamatan Bantan).
Usai
mengerjakan shalat terawih plus
witir, seperti lazimnya sang imam langsung memandu kalimah shalawat kepada
Rasullah, dzikir dan doa. Usai pembacaan doa, langsung melafadzkan niat
berpuasa dengan bahasa Arab, kemudian dilanjutkan dengan terjemahan bahasa
Jawa. “Niat ingson poso ing dhino sesok
sangkeng nekani bulan Ramadhan, iki lah tahoon, krono Allah ta’ala.”
Usai
melafadzkan niat puasa bersama, baik dalam bahasa Arab maupun Jawa, rangkaian pasca
shalat terawih belum usai. Masih ada sederatan tradisi yang dilakukan jamaah,
yakni saling bersalam-salaman sambil melantunkan kalimah shalawat Nabi Besar
Muhammad SAW., diiringi suara bedug yang ditabuh oleh anak-anak. Sambil
membentuk formasi, jamaah berkeliling menyalami satu-satu jamaah lainnya.
Tradisi
menabuh bedug saat bersalam-salaman ini, sudah terjadi puluhan tahun lalu. Kala
itu, saya bersama teman-teman kecil dengan riang ria secara bergantian menabuh
bedug. Bahkan lebih ‘ekstrim’, karena
tak sabar bergantian, kami sengaja membawa kayu dan peralatan lainnya untuk
dipukul.
Bagi
saya dan kalangan anak-anak lainnya, kolaborasi suara menghasilkan suara semarak,
ternyata berbeda dari segi orang tua. Mungkin bagi kalangan orang tua, suara
berkolaborasi kayu, botol dan teko (pokoknya benda yang ada di situ dipukul),
membuat nada fals alias sumbang.
Salah
satunya, ayah saya, Badar bin Seni, mengambil langkah tegas, menertibkan segala
peralatan alat pukul tersebut. Tindakan dan langkah itu, membuat tak senang
bagi anak-anak sebaya ku, seperti Kayen, Suwarno, Wahono, Sutarto, Tukino dan
lainnya. Sebagai anak kandung, tentu saya tidak bisa berbicara dan ‘melawan’,
(tak mau jadi anak durhaka). Pasca peristiwa itu, tabuhan bedug tetap
berdentum, namun tak kolaborasi dengan peralatan lain.
Kembali
ke tradisi usai shalat terawih dan witir, tidak hanya suara bedug dan salaman.
Suasana keakraban sesama jamaah semakin kental, saat giliran menikmati puluran
(sebutan makanan ringan dan kue mueh yang sengaja dibawa oleh jamaah). Setiap
malam secara bergiliran, jamaah membawa puluran dan minuman. Tujuan tradisi
puluran ini, selain disajikan untuk jamaah, juga bagi pemuda-pemudi yang
membaca Alquran alias tadarus.
Itu
lah indahnya, shalat terawih berjamaah di kampung halaman. Selamat menunaikan
Ibadah Puasa Ramadhan 1437 Hijriyah, semoga amal ibadah kita diterima di sisi
Allah SWT. Amin ya rabbal Alamin…….
Cerita Adi Sutrisno (CAS)
Kumpulan Tulisan di Status Facebook
