MINGGU PAGI (15/1/2017) lalu, di sela-sela menanam jagung di kebun sekangkang kera (meminjam istilah mas Taufik), anak bujang ku Muhammad Azlan, berkeluh kesah tentang tugas sekolah, kerampilan membuat gasing.
Sudah saya tebak, muara
keluh kesah itu, Azlan Junior nama gaul anak ganteng nomor dua di Facebook,
minta dibantu dibuatkan gasing. Biasa lah anak-anak zaman kenen, setiap ada tugas keterampilan, begitu dapat tugas dari
sekolah, pasti yang kerja orang tuanya.
Berbeda dengan masa
kecil saya, jangankan tugas sekolah membuat gasing, tanpa diperintah guru kami
langsung action. Apalagi saat tiba
musim permainan gasing, saya dan teman-teman berlomba-lomba membuat gasing.
Kalau dah begitu, siap-siap lah kayu alias pokok jeruk, kopi dan tentu yang
paling dicari-cari kayu/pokok Leban. Kalau tak ditebang, minimal ditutuh
(diambil bagian dari ranting besar) untuk bahan baku untuk gasing.
“Dulu, kalau ada tugas
sekolah, papa buat sendiri. Seperti buat gasing, layang-layang, asbak dan sapu
lidi. Coba Azlan buat sendiri,” ujarku. Lantas Azlan menjawab, “Kalau nak buat
gasing, mana kayunya,” jawabnya.
Tak salah jawab anak
mantan wartawan ini. Bukan sekedar alasan, tapi memang benar. Kalau nak buat
gasing tentu butuh kayu. Tak mungkin harus menebang pohon jambu atau mangga
tetangga. Kalau nekad, siap-siap lah keno
kejo sama pemiliknya. Salah-salah bisa saja berurusan dengan pihak
berwajib, minimal Ketua RT.
Itu baru urusan kayu
(bahan baku), belum lagi peralatan pendukung, seperti parang dan gergaji. Meski
saya punya parang pendek, tapi tak tajam alias tumpul (bukan parang tumpul
milik mas Zuriat Abdillah). Apalagi gergaji. Kalau untuk urusan alat pemotong
ini, tak perlu khawatir, karena tentangga saya punya profesi ganda tukang dan
PNS, pak Marianson.
Gasing
adalah mainan tertua yang ditemukan di berbagai situs arkeologi
dan masih bisa dikenali. Gasing merupakan salah satu permainan tradisional Nusantara,
walaupun sejarah penyebarannya belum diketahui secara pasti.
Sejumlah daerah punya istilah berbeda menyebut gasing. Di Jawa Barat dan DKI Jakarta, gangsing atau panggal. Masyarakat Lampung pukang, Kalimantan Timur begasing, Maluku disebut Apiong dan Nusa Tenggara Barat dinamai
Maggasing.
Jambi, Bengkulu, Sumatera Barat, Kepulauan Riau
menyebut gasing. Masyarakat Bugis mengenal maggasing atau aggasing.
Bolaang Mongondow Sulawesi Utara mengenal gasing dengan
nama Paki. Orang Jawa Timur menyebut gasing
sebagai kekehan. Sedangkan di Yogyakarta, gasing disebut dengan
dua nama berbeda. Jika terbuat dari bambu disebut gangsingan, dan jika terbuat dari kayu dinamai pathon
Gasing tidak hanya terbuat dari kayu, plastik dan bambu,
serta lainnya. Dulu saya dan teman-teman, hanya mengenal gasing berbahan baku
kayu. Beda dengan Ombak Fadli Faren, waktu kecil tak pernah memainkan gasing
dari kayu, apalagi membuatnya. Jebolan komunikasi Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
sebelum menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim, hanya mengenal
gasing dari plastik alias gasing, tentu dibeli dari kedai atau toko. –Kira-kira
begitu Ibu Reni Eka Putri.
Gasing mainan yang bisa berputar pada poros dan berkeseimbangan pada suatu titik. Namun untuk berputar,
gasing butuh campur tangan si pemain dibantu sarana pendukung berupa tali
panjang.
Cerita
mengenai gasing, banyak pelajaran yang dapat dipetik dalam kehidupan
sehari-hari. Gasing untuk berdiri tegak, harus “bergerak” berputar. Bahkan
dihantam oleh gasing lawan, tetap tangguh dan tetap berputar (meski sempat
terhoyong-hoyong dan terseok-seok).
Dalam
kehidupan nyata, agar tetap tegar dan mampu bersaing dalam percaturan, kita
harus bergerak alias berusaha. Karena tanpa bergerak, sulit menggapai tujuan
dan cita-cita. Walau di depan mata, tanpa usaha keras, jawabannya kita akan
sulit menjadi orang maju.
Di
kampung ku, orang yang tak mau bergerak alias berusaha, disebut pemalas. Selain
sulit untuk sukses, juga mengakibatkan penyakit jasmani. Pemalas menyebabkan
orang menjadi bodoh, karena jarang menggunakan otak untuk berpikir, hanya
menghandalkan perkataan yo wes atau ya sudah lah.
Mending cuma mengomong yo wes, tak enaknya,
udah malas, banyak cerito pulak, itu yang tak boleh ditiru. Ini samo dengan
gasing berketetel (meminjam istilah Indra Humas), kalau bahasa Jawa disebut
Netel, dah tak linyak “lagak” usil bergerak senggol kanan kiri gasing lain. Kalau
begitu, bilo nak maju.
Pokok e ojo dadi wong pemalas, lek arep sukses
yo kudhu wani obah awak e lan pikiran ne. Pokok kito kudhu duwe karyo, kerso
lan cipto. (Pokoknya jangan jadi orang pemalas. Jika ingin sukses harus berani
menggerakan badan dan pikiran. Pokoknya kita harus punya karya, karya dan
cipta) --kira-kita artinya begitu, yo mas Suprianto dan Pak Imam Hakim.
Musuh terbesar kita dalam hidup ini bukanlah
orang lain, melainkan diri kita sendiri. Untuk itu, mari kita taklukan diri
sendiri terutama dari sifat malas, buang jauh-jauh. Sekali kita mampu kerja apa
yang bisa dikerjakan demi kemajuan diri sendiri maupun lembaga tempat kita
bekerja.
Dalam
hidup ini, kita harus selalu “berputar” bergerak seakan gasing. Karena tanpa
berputar, gasing tidak akan berdiri tegak dan menjadi juara dalam pertandingan
festival gasing.
Meski
demikian, sekencang-kencang gasing berputar alias linyak menurut kata orang
Teluk Ondan (Suai…Saril Azwan), gasing tetap butuh campur tangan pemain beserta
talinya. Bila diapliasikan dalam kehidupan, kita tidak boleh sombong, karena
kita butuh orang lain. Kita baru bisa dikatakan pandai, jika ada pembandingnya.
Disebut orang kaya, karena ada si miskin.
Untuk
itu jangan lah jadi gasing sombong, karena selinyak-linyak gasing akhirnya
terkulai juga alias modhar. Maka, kita harus selalu ingat, di atas langit ada
langit. Kehidupan ini diatur oleh Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa. Jadi lah
orang yang selalu ingat pada Sang Pencipta (Sekian)
Cerita Adi Sutrisno (CAS)
Kumpulan Tulisan di Facebook
