Seiring perjalanan waktu, sebagian besar
masyarakat terutama generasi muda, tidak tahu siapa sosok sang inisiator
pembukaan dan pembukaan Jalan Liong. Untuk mengungkap fakta sejarah inisiator
tersebut, saya sengaja menulis sekilas sejarah pembukaan Jalan Liong, Tulisan
ini pernah diterbitkan di majalah internal Humas Setda Bengkalis, namun tidak
salah jika di-share via website, agar semua orang tentang sejarah yang
selama ini masih terpendam.
Beberapa waktu lalu menjumpai sosok pria
tua yang telah berjasa untuk kemaslahatan umum. Sosok tersebut adalah H. Bakri,
tokoh sentral yang punya ide ‘gila’ tapi brilian. Meski kondisinya sudah renta,
namun mantan Kepala Desa Selatbaru ini, masih lancar menceritakan tentang suka
duka selama pengerjaan jalan dan jembatan Liong.
Jauh sebelum jalan dan jembatan Liong di
Bantan dibangun, masyarakat desa Selatbaru yang hendak berladang, berkebun dan
menoreh karet di Dusun Belas dan Mentayan (kedua dusun ini kala itu masuk
wilayah desa Selatbaru) harus melintasi satu-satunya akses utama kala itu,
yakni jalan Simpang Sirap–Ulupulua. Setiap hari, para petani karet dari
Berancah, Jambu, Beringin dan sekitarnya, harus menempuh perjalanan lumayan
jauh. Begitu juga dirasakan oleh masyarakat dusun Belas, Londang dan Mentayan,
yang hendak urusan pelayanan di pemerintahan desa Selatbaru.
Melihat dan mengamati realita kehidupan
di masyarakat waktu itu, pada tahun 1972 Bakri berinisiatif membuka jalan baru
yang jaraknya relatif lebih dekat. Gagasan itu muncul semata-mata untuk
mempersingkat jarak tempuh masyarakat yang hendak pergi ke ladang dan kebun
serta berkunjung ke rumah sanak famili. Lantas gagasan ‘gila’ itu diutarakan
kepada sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat.
Untuk merealisasikan gagasan membuka
jalan baru di kawasan hutan Bakau Sungai Liong itu, Bakri berembug dengan
sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat. Rencana awal, titik pembukaan jalan
dimulai dari kawasan depan rumah Hoklai (saat ini di sekitar pasar dan lapangan
bola desa Bantan Tengah). Namun setelah diperkirakan jalan tembus tidak berada
di Berancah, maka rencana semula diurungkan.
Lantas Bakri berembug dan mengajak
sejumlah tokoh dan pemuka masyarakat untuk melakukan survei di lapangan, mereka
adalah Mansyur, Abdullah, Rusban, Sayuti dan Ali Sombing seorang anggota polisi
yang bertugas di Pos Polisi Selatbaru. Berbekal peralatan seadanya dan makanan,
kala itu, sekitar pukul 08.00 WIB, Bakri bersama rombongan bergerak masuk ke
hutan bakau yang lebat.
“Perjalanan kami merintis jalan sangat
melelahkan. Kami harus bersusah payah melintasi pohon-pohon besar, seperti
Bakau, Susup dan pohon lainnya. Kemudian tanah yang berlumpur dan akar-akar
bakau memperlambat perjalanan kami,” ujar Bakri.
Untuk mengusir rasa lelah, lapar dan
haus, Bakri dan rombongan beristirahat di antara celah-celah pohon dan akar
Bakau. Ketika matahari berada di atas hari, mereka membuka bungkusan bekal
makanan yang telah disiapkan dari rumah. Di atas tanah berlumpur dan berair,
Bakri dan teman-temannya dengan lahap menikmati bekal yang mereka bawa.
Setelah beberapa kali beristirahat,
tepat pukul 14.00 WIB atau sekitar enam jam waktu perjalanan Bakri bersama
rombongan sampai di bibir Sungai Liong. Begitu berada di pinggir bibir Sungai Liong,
rasa syukur dan takjub langsung menyelimuti perasaan Bakri, Mansyur, Abdullah,
Rusban, Sayuti dan Ali Sombing. Meski dalam kondisi kelelahan, namun mereka
tetap semangat, karena cita-cita besar mereka untuk mempersingkat jarak tempuh
antara Desa Selatbaru ke Bantan Tengah, Bantan Air dan Teluk Pambang sudah
berada di depan mata.
Setelah menemukan titik-titik yang bakal
di buat jalan, tak berapa lama kemudian Bakri dan teman-teman kembali pulang ke
rumah. Perjalanan pulang tentu lebih cepat dibandingkan saat berangkat, karena
mereka sudah tahu kondisi di lapangan.
Untuk mewujudkan 'proyek gila' itu,
Kepala Desa Selatbaru, Bakri langsung menggelar rapat bersama seluruh
masyarakat Desa Selatbaru, tak terkecuali masyarakat yang berada di Bantan
Tengah dan Mentayan. Awalnya, saat ide pembukaan jalan Liong mendapat
pertentangan dari masyarakat yang hadir pada rapat, mereka menganggap ide itu
merupakan ide gila dan tak mungkin mampu menembus lebatnya hutan Bakau dan
ditambah lagi dengan tekstur tanah yang berlumpur.
"Saat rapat sempat terjadi
perdebatan dengan masyarakat, tapi setelah saya jelaskan kondisi di lapangan
dan manfaat dari pembukaan jalan Liong, akhirnya masyarakat mengerti dan
sepakat bergotong royong membuka jalan Liong," ujar Bakri pernah menjabat
Kepala Desa Selatbatu selama 30 tahun ini.
Pembagian tugas di lapangan dibagi
berdasarkan kelompok RT (rukun tetangga) se-Desa Selatbaru. Hanya saja, untuk
masyarakat Pantai Parit I, Ulu Pulau dan Simpang Sirap diberi dispensasi alias
tidak ikut dalam pembukaan jalan Liong. Masyarakat di tiga kawasan ini diberi
tugas khusus, seperti masyarakat Pantai Parit I diberi tugas merintis jalan ke
kawasan pelabuhan saat ini. Sedangkan masyarakat Ulupulau dan Simpang Sirap
bertanggungjawab merawat jalan utama yang selama ini menjadi akses
Selatbaru–Bantan Tengah dan desa-desa lain.
"Waktu itu, setiap hari Sabtu
seluruh warga dari Resam, Penawa Lapis, Beringin, Penawa Babon, Penawa Darat,
Berancah, Seberang, Jambu hingga Belas, Londang dan Mentayan, turun bersama-sama
gotong royong,” ungkap Bakri, seraya menambahkan, ketika gotong royong,
biasanya masyarakat membawa bekal berupa nasi tiwol (dari bahan ubi kering
bercampur sedikit nasi putih). Meski bekal yang dibawa seadanya, tapi warga
tetap semangat bekerja seharian, seakan tidak kenal lelah.
Selama berada di rimbunan hutan Bakau
dan pohon Susup dengan tekstur tanah berlumpur, warga khawatir dengan ancaman
ular air maupun buaya dan bintang liar lainnya. Apalagi, ketika air pasang
naik, terpaksa harus berjibaku di dalam air setinggi lutut bahkan di atas
lutut. “Untungnya, selama gotong royong pembukaan jalan Liong tidak ada satupun
warga yang terkena musibah. Kalau tidak salah, cuma satu kali terjadi
kecelakaan kecil, itu pun cuma pukul besi (martel, red) jatuh ke sungai.
Selebihnya tidak ada kendala,” cerita Bakri.
Pekerjaan menebang pohon, membuat parit
dan membuat bodi jalan di antara lebatnya akar hutan Bakau bukan merupakan
perkara gampang dan mudah, apalagi ketika air pasang naik. Warga harus pandai
memainkan strategi dengan kondisi alam, jika air pasang naik dimanfaatkan untuk
menyusun pohon untuk alas bodi jalan. Kemudian, begitu air pasang surut, maka
pohon-pohon yang tersusun di atas bodi jalan, langsung ditimbun dengan tanah
hasil galian parit dari kanan-kiri.
Disinggung mengenai biaya untuk
membuatan jalan Liong, mantan Kepala Desa Selatbaru ini menceritakan, total
dana yang dikeluarkan untuk pembuatan jalan Liong sebesar Rp 300 ribu, dengan
rincian Rp 100 ribu berasal dari bantuan pemerintah dan Rp 200 ribu merupakan
swadaya masyarakat setempat. Itu dari segi dana, sedangkan bantuan material dan
moril masyarakat nilainya tak terhingga.
Setelah tiga bulan berjalan, akhirnya
bodi jalan yang terbentang dari Berancah sampai kawasan Anak Kempas (Bantan
Tengah) selesai dikerjakan, bahkan sudah bisa dilewati oleh warga. Tentu
kondisinya masih memprihatinkan, berlumpur dan becek, tapi setidaknya jalur
transportasi sudah mulai lancar. Hanya saja, kendala utama saat itu adalah
Sungai Liong yang terbentang, sehingga butuh jembatan agar arus
transportasi lebih lancar.
Meski dengan keterbatasan dana, pria
yang terkenal tegas ini memberanikan diri membuat keputusan untuk membangun
jembatan Liong. Dia melihat material dan bahan pendukung seperti kayu sesup dan
lainnya, bisa dibuat untuk jembatan penghubung dari bibir sungai sisi barat
menuju sisi timur. “Saking semangatnya, waktu itu saya menjual Tv (televisi)
pada seorang toke di Berancah, bernama Katwan. Saya tidak ingat betul, berapa
lakunya,” ungkapnya.
Berkat semangat yang kuat, bak gayung
bersambut, ketika bertemu dengan Camat Bengkalis saat itu, Chairil Talib, dia
pung langsung mengutarakan tentang mega proyek jembatan Liong. Ternyata
inisiatif mega proyek yang diperkasai Bakri mendapat respon positif dari
penguasa saat itu. Sang camat bersedia membantu dana sebesar Rp 500 ribu. Dana
itu menurut Bakri, digunakan untuk membayar upah tukang dan pekerja, serta
membeli alat kren pemancang tiang dan peralatan pendukung lainnya.
Untuk membuat jembatan itu, didatangkan
tukang yang berpengalaman dari dari Kota Bengkalis. Kandar adalah sosok tukang
dipercaya untuk mengomandoi tukang pembuatan jembatan Liong. Dibantu oleh Ginen
dan lima tukang lainnya, pembuatan jembatan dikerjakan selama tiga bulan.
Bakri menceritakan, pembuatan jembatan
Liong kala itu benar-benar tradisional, karena dilakukan secara manual dan alat
seadanya. Sebagai contoh, balok dan kayu untuk badan jembatan, digergaji
langsung di sekitar lokasi jembatan. Ini dilakukan karena pohon-pohon Sesut
dari hasil tebangan pembuatan jalan melimpah. Begitu juga dengan tiang-tiang
besar yang menopang jembatan, dipancang dengan peralatan berupa kren sederhana
dan ditancapkan secara manual.
“Saya salut, meskipun dikerjakan dengan
secara tradisional dan manual, tapi semangat mereka untuk menyelesaikan
jembatan sangat tinggi. Terbukti selama tiga bulan jembatan Liong sudah selesai
dan bisa dilewati oleh warga,” ujar Mbah Bakri.
Sejerah telah mencatat pembukaan jalan
Liong sepanjang sekitar 3 kilometer dan pembuatan jembatan sungai Liong,
memakan waktu selama 6 bulan. Alhamdulillah, berkat semangat Pak Bakri dan
seluruh masyarakat Selatbatu dan Bantan Tengah yang tak pernah mengenal kata
lelah, maka generasi saat bisa menikmati kelancaran arus lalu lintas antar
desa di kecamatan Bantan maupun ke ibu kota kecamatan dan ibu kota Kabupaten
Bengkalis.
Semoga buah dari kerja keras mereka,
dibalas dengan limpahan pahala oleh Allah SWT. Insya-Allah, setiap orang yang
melintasi jalan Liong akan menjadi pahala yang mengalir ke pundi-pundi amal
orang-orang yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan
jalan Liong. Amiin ya Rabbal Alamiii.
Cerita Adi Sutrisno (CAS)
Kumpulan Tulisan di Facebook
